wOw

Rabu, 23 Februari 2011

Kamis, 17 Februari 2011



Jerus maut............

wacccayyyyy.............

Ngalungsur Pusaka, Buat Hormati Leluhur

Ngalungsur Pusaka, Buat Hormati Leluhur
Penulis: Jodhi Yudono | Editor: Jodhi Yudono
Jumat, 18 Februari 2011 | 03:56 WIB
Oleh Feri Purnama




Upacara adat "Ngalungsur Pusaka" atau membersihkan benda-benda pusaka peninggalan Prabu Kiansantang atau Syech Sunan Rochmat Suci di makam keramat Godog, Kampung Godog Makam, Desa Lebak Agung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut, Jabar, Kamis, merupakan penghormatan terhadap leluhur.
"Bukan menghormati pusakanya, tapi menghormati beliau (Syech Sunan Rochmat Suci) yang telah berjasa menyebarkan ajaran agama Islam disini," kata Ketua Juru Kuncen Makam Godog, Ahmad Syarifudin.
Prabu Kiansantang merupakan seorang anak dari Raja Padjadjaran yakni Prabu Siliwangi yang menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan, dan dimakamkan di Gunung Suci, Garut.
Upacara adat "Ngalungsur Pusaka" tersebut selalu digelar di makam Godog setiap satu tahun sekali atau dalam rangkaian peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Upacara membersihkan benda pusaka tersebut, ditegaskan Ahmad bukan menyembah suatu benda yang diyakini akan memberikan sebuah keajaiban atau melebih kekuatan Tuhan Yang Maha Esa, melainkan sebagai cara melestarikan budaya seperti menjaga peninggalan benda-benda pusaka zaman dulu.
Para peziarah yang datang ke makam Godog tersebut oleh pihak kuncen selalu diingatkan bahwa melestarikan benda pusaka dan menghormati pemiliknya itu bukan menyembah pusaka.
"Jangan sampai kita melestarikan benda pusaka salah langkah atau salah aqidah, ini bukan menyembah tetapi melestarikan, beberapa kali kepada jemaah jangan sampai salah aqidah, mendewa-dewakan sesuatu atau benda, tapi kita tetap memohon dan berdoa kepada Allah SWT," kata Ahmad.
Upacara adat "Ngalungsur Pusaka" digelar dengan hati-hati dari awal dibawanya tempat benda pusaka yang disimpan di makam, hingga ke aula dan dilakukan pembersihan kemudian dikembalikan ke tempat semula oleh kuncen berseragam gamis identik warna hijau.
Prosesi upacara adat yang digelar tersebut, ditegaskan Ahmad bukan berarti mengunggulkan benda pusaka sehingga timbul keyakinan akan memberikan barokah melainkan bentuk penghormatan agar benda tersebut terjaga baik.
"Seperti kita punya benda, terus dilemparkan oleh orang lain, berarti itu tidak menghormati kepada yang punya barang," kata Ahmad mencontohkan bahwa uapcara adat benda pusaka dengan hati-hati merupakan bentuk penghormatan kepada pemiliknya.
Keberadaan benda pusaka tersebut, diceritakan Ahmad berawal ketika Syech Sunan Rochmat Suci membawa benda tersebut dengan sebuah peti kayu dari tempat keramaian kerajaan Padjadjaran.
Dengan bekal benda pusaka tersebut Syech Sunan Rochmat Suci mendapatkan ilham harus menyebarkan ajaran Islam ditempat lain hingga akhirnya mendapatkan petunjuk dengan menempatkan benda pusaka di Gunung Suci yang sekarang menjadi tempat pemakamannya.
Benda pusaka tersebut disimpan Syech Sunan Rochmat di Gunung Suci setelah beberapa tempat telah dilakukan untuk mencari petunjuk menyebarkan ajaran agama Islam.
Dalam petunjuk itu, peti yang berisikan benda pusaka tersebut bergoyang dan diyakini Gunung Suci sebagai lokasi yang harus memberikan perubahan yang lebih baik kepada masyarakat dengan menganut agama Islam.
"Pertamanya di Padjajaran beliau mendapat ilham untuk hijrah, meninggalkan tempat rame dan bertafakur disini, dan berjuang mengajarkan agama Islam," kata Ahmad.
Sedangkan nama Godog tersebut dijelaskan Ahmad berasal dari kata bahasa Sunda yang artinya matang kemudian diartikan disimpannya benda pusaka tersebut telah matang dan Syech Sunan Rochmat harus menetap di Gunung Suci dan menyebarkan ajaran Islam.
"Tafakur di tempat ini lebih matang, sehingga pendekatannya dalam mengajarkan agama Islam berhasil dengan matang," katanya.
Selama prosesi "Ngalungsur Pusaka" tersebut para juru kunci makam mendampingi kuncen yang sedang membersihkan benda pusaka dengan minyak khusus seperti minyak keletik, jeruk nipis untuk menghilangkan karat, dan minyak wangi.
Benda pusaka yang sudah berusia ratusan tahun itu yakni seperti senjata keris yang berjumlah 15 yang dahulu digunakan bukan sebagai senjata melakukan kekerasan melainkan sebagai pegangan menjaga diri saat berjuang menyebarkan ajaran Islam.
Pusaka tanduk berbentuk terompet, kata Ahmad oleh Syech Sunan Rochmat Suci digunakan untuk memberitahukan dan mengajak masyarakat berkumpul menggelar musyawarah dengan cara ditiup hingga mengeluarkan bunyi khas.
"Benda pusaka tanduk ini hanya bisa berbunyi oleh kangjeung Sunan Rochmat, kalau sekarang tidak bisa bunyi, itulah keajaiban yang tidak dapat masuk akal manusia," kata Ahmad menerangkan di hadapan peziarah yang hadir di makam Godog.
Benda peninggalan lainnya yakni pecut atau disebut Cameti, kemudian rante untuk mengukur waktu hingga mengatahui waktu menjalankan ibadah shalat.
Kemudain Babango atau gunting yang ukurannya kecil sebagai alat tajam zaman dulu untuk khitanan atau memotong kelamin laki-laki sebagai salah satu syarat mengikuti ajaran agama Islam. "Alat gunting ini untuk khitanan ukurannya kecil, tapi anjeuna (Syech Sunan Rochmat) bisa melakukannya," katanya.
Selain itu benda pusaka lainnya yakni benda miniatur alat-alat menanak nasi dan pertanian, Ahmad menilai adanya benda tersebut sebagai gambaran bahwa macam-macam bentuk alat pertanian dan menanak nasik sudah dibentuk pada zaman dulu.
"Setelah dilakukan pembersihan, kita perlihatkan kepada masyarakat, inilah benda-benda pusaka," kata Ahmad.

Mbah Maridjan Hidup Lagi, Minta ke Masjid


Mbah Maridjan Hidup Lagi, Minta ke Masjid
Editor: Benny N Joewono
Kamis, 17 Februari 2011 | 17:55 WIB




SLEMAN, KOMPAS.com — Surono, PNS di Pemkab Sleman, DIY, yang sedang mengikuti upacara rutin tanggal 17-an, Kamis (17/2/2011), tiba-tiba jatuh dan kerasukan arwah Mbah Maridjan.
Surono yang merupakan juru foto Pemerintah Kabupaten Sleman ini mengaku sebagai Mbah Maridjan atau Ki Surakso Hargo, juru kunci Gunung Merapi.
"Upacara ini rutin diselenggarakan tiap tanggal 17 yang diikuti seluruh PNS di lingkungan Pemkab Sleman," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial (Disnakersos) Kabupaten Sleman Kriswanto.
Surono yang saat itu sedang mengabadikan jalannya upacara tiba-tiba terjatuh kemudian tubuhnya meronta-ronta, bahkan membenturkan diri ke pohon.
"Upacara baru berlangsung sehingga para peserta kaget, agar tidak mengganggu jalannya upacara, Surono langsung dibawa ke ruangan yang berada di seberang lapangan," katanya.
Saat berada di Ops Room, Surono bertindak aneh seperti bicara dengan suara yang mirip dengan mantan juru kunci Gunung Merapi, ia juga mengaku bernama Mbah Maridjan.
"Yang lebih mengagetkan lagi, Surono juga bertingkah aneh mengaku sebagai Mbah Maridjan, suaranya juga sangat mirip," katanya.
Surono yang mengaku sebagai Mbah Maridjan pun meminta agar diantarkan ke Kinahrejo. Jika tidak ada yang mau mengantar, maka ia ingin berjalan sendiri.
"Surono minta diantar ke Kinahrejo dan mau jalan kaki. Supaya tidak terjadi sesuatu, maka kami turuti dan diantar ke sana sesuai permintaannya," katanya.
Surono yang tengah kesurupan itu pun akhirnya diantar ke Kinahrejo dengan menggunakan dua mobil, satu di antaranya mobil ambulans.
Surono akhirnya tersadar begitu sampai di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, yang merupakan dusun tempat tinggal Mbah Maridjan sebelum terkena erupsi Gunung Merapi.
Saat tiba di Kinahrejo, Surono langsung menuju Masjid Al-Amin yang terletak di sebelah barat rumah Mbah Maridjan. Di tempat tersebut, Surono kemudian meronta, berteriak dan akhirnya sadarkan diri.
"Iki apa? Aku kenapa iki? Aku neng ndi? (Ini apa? Saya kenapa? Saya berada di mana?)," kata Surono usai sadarkan diri.
Surono kemudian diberi air putih dan dipapah kembali ke mobil untuk dibawa ke rumah sakit.
"Ini hanya kejadian biasa, Mungkin sebelumnya Pak Surono dalam kondisi kurang sehat, dan kemudian ada sesuatu yang masuk. Ditambah, ada keinginan atau pikiran dalam diri Surono mengenai Mbah Maridjan dan Dusun Kinahrejo. Tadi saat berada di tempat imam masjid ini, semua langsung kembali seperti semula. Jadi, ini tidak usah diperpanjang," kata Agus Wiyarto, Ketua Banser Bantul yang mendampingi Surono.
Kerabat almarhum Mbah Maridjan, Singgih, mengaku kejadian ini bisa ditafsirkan sebagai peringatan, yakni mengirim ke kuburan Mbah Maridjan.
"Makanya, malam Jumat Legi besok, saya akan ngirim atau nyekar ke makam Mbah Maridjan di Dusun Srunen, Desa Glagaharjo, Cangkringan," katanya.

ajaIb....


GUNUNG KUDUL
Ajaib! Pohon Roboh Lalu Berdiri Lagi
Editor: Glori K. Wadrianto
Kamis, 17 Februari 2011 | 09:22 WIB




TRIBUNJOGJA / M FATONI Pohon tua di dusun Candisari, Hargosari, kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul beridri sendiri setelah tumbang
GUNUNGKIDUL, KOMPAS.com — Warga padukuhan Candisari, Hargosari, Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul, digegerkan oleh peristiwa pohon keramat yang kembali berdiri setelah sebelumnya roboh, Rabu (16/2/2011). Warga sekitar menyebut pohon wunung tua itu pacak suci.
Pohon yang telah berusia ratusan tahun itu tumbang oleh angin puting beliung yang menerjang wilayah Hargosar, Selasa sore. Pohon itu roboh menimpa dan merusak bagian depan Masjid An Nashr di tengah Pedukuhan Candisari.
Esok harinya warga dibantu oleh pihak koramil memotong pohon yang tumbang dan melintang di jalan desa tersebut. Setelah berhasil memotong pohon tersebut, warga beristirahat makan siang sekitar pukul 12.00 WIB. Namun, ketika warga bermaksud menyingkirkan potongan pohon, mereka terkejut karena bagian bawah pohon tersebut telah berdiri tegak kembali seolah tak pernah roboh.
"Saya tidak mengerti bagaimana hal itu bisa terjadi, tau-tau pohon sudah berdiri lagi," ujar Kepala Dukuh Candisari Jumeno.
Peristiwa itu pun kontan mendapat perhatian warga sekitar. Mereka langsung mendatangi lokasi pohon yang dikeramatkan tersebut untuk menyaksikan langsung. Menurut Jumeno, sebelum tumbang, tinggi pacak suci sekitar 16 meter. Setelah tumbang dan dipotong, bagian bawah pohon keramat yang kembali berdiri tersebut tingginya sekitar 4 meter.
"Tadinya udah jebol sampai akar-akarnya, ini sekarang akarnya sudah kembali menyatu dan tegak seperti enggak pernah roboh," ujar kepala dukuh.
Menurut pengakuan seorang warga, Nuryadi, ia mendengar bunyi aneh saat dirinya beristirahat di dekat pohon tersebut. Saat itu Nuryadi mengatakan posisi duduknya membelakangi pohon yang telah dipotong menjadi beberapa bagian itu sambil mengobrol dengan beberapa warga.
"Saya dengar bunyi 'kresek' begitu, terus pas noleh ternyata pohonnya sudah berdiri lagi, langsung saya lapor Pak dukuh," katanya.
Seorang sesepuh desa, Harno (70), mengatakan, pohon tersebut telah berada di tempat itu sejak lama. Pohon tersebut juga dipercaya sebagai cikal bakal adanya Desa Hargosari. "Candisari ini, kan, pedukuhan tertua di Hargosari dan pacak suci adalah semacam pasak utama penyangga desa," tutur Harno.
Dengan kejadian tersebut, kepala dukuh dan para sesepuh desa sepakat untuk tidak memotong pacak suci itu. Mereka meyakini bahwa pohon keramat tersebut memang tidak boleh dipotong."Ya, mungkin yang 'menunggu' pacak suci tidak rela untuk dipotong," kata Jumeno.

Selasa, 15 Februari 2011

Cerkak_saking Bu Nini Klenyem



1. Si_Pengung  saking Is Sarjoko (Nini Klenyem)
(http://www.cerkak-jawa.com/critalelucon/90-si-pengung)
Mas Giman !, crita punika namung dhapur crita gojegan kanggo ngendhokaken syarap supados mboten metentheng, kados yen mirengaken crita jagading lelembut.
Menggah crita wau mekaten : Supados nges kulo badhe ngoko kemowon :
Ing sawijining dina, ana wong bebrayan sing nduwe anak lanang ontang-anting sing banget di ugung ing samubarange.
Merga saking banget tresna lan gematine, anake mau mung di uja sakarepe.
Ora di dhidhik, ora diwarahi apa-apa lan ya ora di sekolahake, mula bareng gedhe bocah kuwi babar blas ora bisa apa-apa. Geweyane dina-dina mung mangan turu wis ora ana maneh.
Bocah mau dijenengi Purwo, ning gandheng saking bodho lan gobloge banjur padha diparabi Pengung.
Pengung sing sedina-dinane mung mangan, turu kuwi awake dadi lemu kaya gendhon.
Gandheng wis di wasa, mula wong tuwane kepingin si Pengung kaya bocah-bocah salumrahe ya kuwi di omah-omahake. Ning njur sapa sing gelem karo bocah sing ming kaya pong-pongan kuwi ?
Kebeneran, tanggane wong tuwane Pengung ya dhuwe anak wedok sing mung ngelethek neng njeron ngomah wae. Gaweyan ngomah kabeh bisa nantandangi, ning emoh yen metu ngomah merga bocah kuwi isinan banget alias Clingus.
Yen kepeksa nganti pethukan utawa ditakoni uwong, olehe semaur utawa mlaku ya ndhungkluk terus, ora wani nyawang sing ngajak omong.
Ning bocah kuwi mungguh kekarepan lan pepinginan ya normal kaya wong lumrah. Cacade ya mung siji kuwi isinan utawa Clingus.
Bareng Pengung ditari rabi, sak wise di ajak jagong manten (karepe wong tuwane, nek dadi manten kiya di dandani ngono kuwi), Pengung di tari rabi ya gelem.
Saiki wong tuwane Pengung sing bingung. Gek cah wadon ngendi sing gelem dirabi wong koya anake kuwi ?
Sidane kelingan anake tanggane ya si Clingus. E ya kalah cacak menang cacak, sapa ngerti nek bocahe sing ora tau srawung uwong kuwi gelem dijodhokake anake.
Bareng Clingus di tari wong tuwane gelem nglakoni, wusanane njur padha dirembug.
Pengung seneng banget nalika di dandani lan di ladeni panganan sing enak-enak, prasasat ora leren anggone ngemil. Nganti tamu-tamu padha nggeguyu karo manten sing ora duwe isin kuwi.
Kosok balen karo Clingus, nalika ditemokake sasat kaya reca di lungguhake. Ora obah, ora wani nyawang tamu-tamu mung ndhungkluk wae.
Pengung mono kaya dene jenenge wis ngarani, bodho longa-longo kaya kebo, sing ngertine mung mangan turu klinthong-klinhong dolan. Mula anane Clingus sing wis resmi dadi bojone neng ngomahe, ya ora teges kanggone Pengung.
Clingus sing kahanan normal kuwi, neng ngomahe maratuwane apa-apa ya ditandangi. Klebu diwarahi mara tuwane leladi bojone.
Pengung sangsaya mbungahi. Apa tegese wong bebojoan Pengung babarpisan ora ngerti. Clingus mung dianggep kanca urip sing manggon tunggal saomah, yen bengi nunggal sapeturan.
Bareng wis dadi manten entuk setengah taun, Clingus ditakoni mara tuwane wis ana tandha-tandha arep bathi apa durung, Clingus mung gedheg. Mula wong tuwane Pengung ngandhani anake;
“Le, bojomu kuwi ya di wori kaya bapak karo mbokmu kuwi, supaya kowe enggal duwe momongan”. Pengung meneng ngrungokake karo manthuk-manthuk, njur takon :
“Olehe ngewori piye, pak ?”
“Ngene ya Le, nek turu ben bebas kuwi ora usah nganggo sandhangan. Leh mu turu ngisor ndhuwur, bojomu sing ngisor, kowe sing neng ndhuwur, suwe-suwe suk kowe rak njur duwe anak”
“O yoh pak, mengko bengi tak lakonane”. Bapakne Pengung gedheg-gedheg karo ngelus dhadha batine : Oh mesakake Clingus, jebul sprana-sprene kuwi isih wutuh, durung di owah-owah.
Bareng genep sesasi, Clingus blokeran pijer mutah-mutah wae, maratuwane wis nicil ayem. Bareng sela Clingus di takoni :
“Wis ngayati mandheg pa nok ?” Clingus gedheg kara kandha :
“Kula kalih kang Pengung di kengken tilem ngandhap (longan), kang Pengung tilem nginggil (ngamben), kula mboten betah pak, jrambahe niku anyes sanget. Sakniki kula masuk angin terus”. Krungu wangsulane Clingus, maratuwane kaget, batine : Wooow jebulane anakku Pengung ora dhong. Awakke dhewe turu ngamben, kok bojone kon turu nglongan, pantes masuk angine terus. Wong tuwane Pengung judheg, banjur ngulir budi, piye bisane Pengung ngerti karepe bapakne. Wayah awan nalika sepi, bapakne Pengung ngawe anake. Bareng wis mara Pengung di kandhani :
“Le, uwis, bojomu aja kon turu neng longan terus, mengko mundhak masuk angin dhudhuk. Saiki ganti. Iki kowe tak wenehi klentheng (isi kapuk). Nek kowe karo bojomu arep mapan turu, klentheng iki lebokna pusermu, njur bojomu kan turu mlumah. Klentheng iki pindhahen neng pusere bojomu, ning tanganmu lan tangane bojomu ora kena ndemok klentheng kuwi, dadi saka pusermu tempelna neng pusere bojomu nganti mlebu. Mengko suwe-suwe kowe rak duwe anak”.
“Dadi olehku turu ya ora nganggo sandhangan, ta pak ?”. Bapakne manthuk-manthuk tandha ngiyoi.
Batine : ah nek kanthi cara iki mesthi kasil. Tenan, nalika nindakake mindhah klentheng kuwi, Clingus sing normal wia mapan-mapanake awake, merga barange sing sensitif kuwi wis kesenggol-senggol pusakane Pengung, ning arep cawe-cawe isin lan wedi.
Seje karo Pengung, punjere pikiran mung ana klentheng, janji klenthenge ngglindhing neng peturon njur leren, perlu mbenakake klenthenge.
Mangka Clingus wis ngos-ngosan gulung koming, kepingin banget ngrasakake landhepe senjatane Pengung. Ning bola-bali mung gela. Merga Pengung ora tanggap.
Wusana saking jengkele, Clingus njorogake Pengung nganti klumah neng ngamben. Esukke tanpa pamit, Clingus bali mulih neng nggone wong tuwane alias purik. Bapakne Pengung kaget nalika ngerti Clingus purik, mula Pengung banjur di dhedhes bapakne njur crita. Kandhane Pengung :
“Pakone bapak kabeh wis tak lakoni. Clingus tak kon turu mlumah, aku mengkurep neng ndhuwure. Ning ya kuwi pak, janji tak ungsep-ungsepke klenthenge ki ngglindhing neng ngamben ..... dadine ya ora isa mlebu. Mangka saking olehe bola-bali ngglindhing, ambegane Clingus nganti cos-cosan, sajake ora sabar” kandhane Pengung jujur.
“Njur ya mung ngono kuwi, Le ?”
“Lha iya pak, ngerti-ngerti aku nglilir Clingus kok wis ra ana.” Krungu kandhane Pengung, bapakne banjur ngekep anake kenceng kebak trenyuh. Kandhane:
“Yoh Le, bapak arep golek dalan ben Clingus gelem bali mrene”. Bapakne Pengung muter uteg kinanthen donga, muga-muga anake ngerti kaya salumrahe wong urip.
Bapakne Pengung banjur lunga neng pasar kewan, baline wis nuntun wedhus lanang wadon sing lagi mbabrak (brai).
Digawekke kandhang apik, sisih kandhang di wenehi amben sing kobet kanggo turu. Sawise dadi njur ngundang Pengung karo di kandhani ngene :
“Le, rehne bojomu mulih neng wong tuwane, kowe saiki tak wenehi gaweyan ngingu wedhus. Wedhus iki ulatna sapari polahe. Wiwit saka ngarit kanggo pakane .... angon lan turu sandhingen ! Apa wae sing ditindakake wedhus sajodho iki gatekna mbok menawa ana paedahe kanggomu”.
“Iya pak, aku manut”.
Pengung pancen bodho .... goblok .... ning jujur tansah nggugu pakone bapakne.
Saiki turune neng sandhing kandhang wedhus. Gandheng diperti ..... digemateni lan pakan sarta ngombene digatekake banget, wedhus sing lagi padha mbarak kuwi njur kawin.
Lagi kuwi Pengung weruh sesawangan anyar, sing durung tau diweruhi, mula di jengglengi terus. Wusana wedhus kuwi meteng njur manak telu cempe-cempe sehat sing nyenengake.
Suwe-suwe pikirane Pengung mletik lan tinarbuka. Jebulane sasuwene iki dheweke durung tau nindakake kaya pakartine wedhus sajodho kuwi marang bojone. Mula niyate Pengung arep marani bojone dikon mulih. Dheweke arep kandha yen sak suwene iki dheweke ora ngerti apa tegese bebojoan. Ya wiwit iku, Pengung lan Clingus urip bebrayan tentrem lan ora let suwe Clingus wis katon ngandheg.
T A M A T






2. Salah_Sasaran saking Is Sarjoko (Nini Klenyem)
(http://www.cerkak-jawa.com/critalelucon/89-si-pengung)

Mas Giman, crita punika namung fiktif, sekedhar kangge ndherek ngregengaken siaran lelangen. Sumangga kawaosna ! :
Ing ndesa Jabalkat, ana sawijining randha enom duwe anak wadon siji sing wis ngancik diwasa. Gandheng uripe ya mung dhanyang buruh, mula anake mbok randha sing jeneng Inah, bareng wis lulus SD ya njur mogok ora gelem sekolah, dhasar bocahe ya ngerti yen kanggo mangan wae rekasa, apa maneh kanggo wragat sekolah.
Inah lan mbokne, ing sadina-dinane nyambut gawe golek pangan dhewe-dhewe. Mbok randha buruh tandur apa derep, dene Inah buruh ngumbahi apa setlika nggone tanggane. Pokoke, lelorone golek pangan saentuke ning dhewe-dhewe jalure.
Wis ana seminggu iki mbok randha dikongkon masakake pak Wigeno sing lagi nyambat ndandani omah, biyen gedheg diganti bata. Mbok randha mono senajan wis nduwe anak prawan, ning merga wonge tansah ngrumat awak, resikan lan seneng jejamu, mula ora mokal senajan wis umur telung puluh telu taun isih katon kempling, isih katon sedhep yen sinawang priya.
Pak Wigeno sing wis ditinggal ngajal bojone udakara telung taunan kuwi, wis rumangsa kesepen banget. Mula anane mbok randha sing dikongkon masakake tukang ing omahe, sing saben ndina ana ngomahe kuwi kena kanggo tamba, senajan mung entuk nyawang, lan ngajak omong-omong yen pinuju sela lan sepi uwong. Pak Wigeno sok mancing-mancing gunem, e mbokmenawa mbok randha isih gelem yen diwengku priya. Merga nyatane pak Wigeno suwe-suwe ana rasa sir lan seneng karo mbok randha sing isih kempling lan sedhep kuwi.
Ning gandheng mbok randha wong lugu, mula ora tanggap karo karepe pak Wigeno sing sok ngganyik ngajak omong kuwi. Ngertine majikane kuwi ya mung wong apikan ngono. Kejaba kuwi, senenge mbok randha ya anggone pak Wigeno nyah-nyoh dhuwit, ora ketang kuwi mung susuk olehe blanja. Pak Wigeno ngerti, yen mbok randha senengane mung tuku jamu, yen tuku jajan paling-paling ya mung gethuk thiwul sing mbejaji limang atusan.
Yen Inah pas ora ana sing kongkon utawa mbutuhake baune, karo mbokne ya sok dikon ngrewangi olah-olah neng nggone pak dhudha. Semono mau dening pak Wigeno , Inah ya di wenehi persen utawa pituwas dhewe. Gandheng mbok randha ora tanggap karepe pak Wigeno , mangka pak Wigeno sejatine kepingin banget ngrumat (ngepek) mbok randha, mula pak Wigeno meneng-meneng mara neng dhukun njaluk pengasihan supaya mbok randha seneng lan gelem nanggapi karepe utawa dirabi.
Mbah dhukun njur takon pak Wigeno :
“Pak Geno, napa sampeyan ngertos kesenengane mbok randha ?”
“O ngertos sanget mbah dhukun, mbok randha niku senengane mung ngombe jamu”.
“Lha nek mung ngoten mawon gampang”. Kandhane mbah dhukun.
“Sesuk sampeyan tuku jamu galiyan putri njur dibekta mriki, nek empun kula mantrani, sampeyan sukakake mbok randha kajenge diombe”.
“O nggih mbah dhukun”. Tenan sawise pak Wigeno masrahake jamu njur dimantrani mbah dhukun, pak Wigeno nggawa jamu mau mulih njur diwenehake mbok randha karo kandha :
“Gilo mbok randha, aku tuku jamu galiyan, nyoh ombenen ben awakmu waras, giyat olehmu nyambut gawe !”. Mbok randha nampani kanthi bungah tembunge :
“Nuwun sanget pak Geno, mangkeh kula ombene”. Jamu ditampani njur digawa mulih, sawise rampung gaweyane. Tekan ngomah jamu diseleh meja, rekane arep diombe mengko yen wis arep mapan turu.
Sore iku Inah uga mulih saka nyambut gawe, dikongkon meme gabah mbah Pawiro wetan kana. Mlebu ngomah weruh jamu neng meja, mangka mbokne lagi adus neng sumur mburi omah, Inah mikir : Wah sedina meme gabah awakku kok krasa kesel, ben jamune simbok tak ombene, ben mari kesel. Jamu diombe sepisan gusis, gelas digawa neng pawon njur di asahi. Rampung adus, mbok randha mlebu ngomah ora nglegewa nek jamune wis di ombe Inah, mula ya meneng wae. Kosok baline Inah, sawise ngombe jamu, kaya-kaya kok mung ketok-ketoen pak Wigeno wae, mula kandhane karo mbokne :
“Mbok, sesuk aku tak melu nyambut gawe kowe ya, wong sesuk aku nganggur”.
“Ya kena wae ta nok, aku ya seneng kok yen mbok re wangi”. Kandhane mbokne bungah. Nalika arep mapan turu mbok randha lagi eling jamune. Niliki ndhuwur meja wis ora ana, mbok randha njur takon Inah anake :
“Nok, kowe weruh jamu ning meja kene ?” Gage wangsulane Inah :
“Weruh mbok, wis tak ombe, jeneh aku krasa kesel je mbok”
“O o ya wis nok, padha wae, jare pak Wigeno , kuwi ya jamu mari kesel, wong sing menehi dheweke”.
“O dadi jamu kuwi mau pawehe pak Wigeno ta mbok ?”
“Iya, ya lumrah ta nok, wong aku bebaune”. Inah njur mikir, genea sawise ngombe jamu kok njur ton-tonen wewayangane pak Wigeno ? Tenan esuke Inah melu mbokne nyambut gawe neng omahe pak dhudha. Inah gumun, genea yen weruh pak Wigeno atine kok rasane seneng banget. Bareng weruh tekane mbok lan anak kuwi, pak Wigeno takon mbok randha :
“Piye mbok randha, jamune rak jos ta ? Mesthi keselmu njur ilang”. Gage panyaute Inah :
“Wong kula sing ngobe pak Wigeno , tikna kesel, kula mboten taros kalih simbok”.
“Dadi malah kowe ta Nah sing ngombe ?”
“Enggih, nyuwun ngapunten nggih pak !”
“Ora papa ..... ora papa Nah, lha kowe mrene ki apa ora di sambat tangga teparo kon ngumbahi apa setlika ?”
“Mboten pak, malah kula kok njur kepingin mriki ngrencani simbok”. Dheg .... atine pak Wigeno bungahe ngayang batin. Ngarah mbokne kok malah kena anake. Kandhane :
“Wista Nah, nek perlu kowe neng kene ngrewangi mbokmu terus, gaweyanmu cukup reresik njero ngomah karo blanja, uga nyepakake manganku. Mbokmu ben sing mangsak lan nyapu njaba”.
“Enggih pak, ndherek mawon”. Ngono wangsulane Inah seneng banget.
Saiki wis ana sesasi Inah nyambut gawe neng nggone pak Wigeno . Pak Wigeno saya mantep, yen aji pengasihane wis tumama neng Inah. Kerep wae Inah dijawil...... dijanggut meneng wae. Saben ndina sisa dhuwit blanjan sing njarag diluwihi, mesthi dikon ngepek kabeh, saya gawe bungahe Inah. Dheweke sasat kaya wis klebu wuwu. Dirangkul, diaras pipine, dijejeri lungguh mepet, Inah rasane mung seneng. Ning pendhak rampung nyambut gawe, Inah mesthi diajak mbokne mulih, sing mesthi wae ora bisa suwala.
Mangka sejatine Inah kuwi wis sambung tresna karo Wagiyo sing nyambut gawe dadi tukang kebon sekolahan SD ing ndesane.
Sakploke Inah nyambut gawe neng nggone pak dhudha, wis ora tau kelingan karo Wagiyo pacare. Kosok baline Wagiyo sing pendhak sore mara neng ngomahe, ngomah suwung, merga mbok randha lan Inah durung mulih. Merga wis kangen tenan, Wagiyo ngenteni samulihe. Bareng wong loro mulih, Inah ya terus nemoni kaya adat saben. Crita ngethuprus, anggone wis seneng nyambut gawe nggone pak dhudha, merga saben ndina Inah mesthi diwenehi dhuwit. Nyambut gawene sak karepe, tur diuja karo pak dhudha. Kerepe mung diajak lungguhan karo omong-omongan.
Krungu pengakuane Inah mau, Wagiyo sing tilas bocah pondhok kuwi krasa, yen Inah mesthi wis diguna-guna karo pak dhudha. Mula niyate Wagiyo arep nawarake pelet mau srana njaluk pitulungan mbah Kaji, wong sing dianggep pinter ing samubarange. Tenan sawise Wagiyo sowan mbah Kaji, dening mbah Kaji didhawuhi pasa mutih telung ndina, njur diwenehi banyu putih sabotol. Dhawuhe mbah Kaji, banyu kuwi dikon ngombe Inah, turahane dikon ngecurke Inah neng pancen wedange pak Wigeno, karo kon muni ngene :
“Peletmu ora mandi ..... (ping telu). Sawise kuwi Inah njur kon mulih adus kramas, karo aja entuk bali neng nggone pak Wigeno meneh”.
“Nek Inah mboten nggugu pripun mbah ?”, pitakone Wagiyo ngemu samar.
“Wis ta mengko angger wis tak sranani, mengko Inah rak manut apa pakonmu, janji welingku neng kowe wis mbok tindakake”. Ngono kandhane mbah Kaji. Bareng Wagiyo wis rampung olehe pasa, Inah kokya nurut apa pakone kekasihe. Lan wiwit kuwi ...... Inah wis blas ora tau kelingan pak Wigeno maneh. Embuh mengko piye nasibe mbokne sing sekawit disiri pak dhudha kuwi, ning jebulane salah sasaran. Mbok randha slamet, ning Inah anake sing kena guna-gunane pak dhudha, amarga ngobe jamune mbokne sing wis dileboni mantra.
T A M A T

SUARA MERDEKA CYBERNEWS .:LELAKI - Sepeda Praktis Menjadi Solusi Cerdas

SUARA MERDEKA CYBERNEWS .:LELAKI - Sepeda Praktis Menjadi Solusi Cerdas

oKey

SUARA MERDEKA CYBERNEWS .:LELAKI - Snorkeling, Virus Dunia Bawah Laut

SUARA MERDEKA CYBERNEWS .:LELAKI - Snorkeling, Virus Dunia Bawah Laut

oKey

SUARA MERDEKA CYBERNEWS .:SEHAT - Abon Bekicot Cegah Osteoporosis

SUARA MERDEKA CYBERNEWS .:SEHAT - Abon Bekicot Cegah Osteoporosis

oKey

Senthir_filosofine

SENTHIR SEJATINE YA RAGANE DHEWE

      Urube Senthir kuwi ya uripmu (cahyamu) merga kuwi, kowe bisa weruh sing durung tau koksumurupi bisa mbedakake laku putih-ireng, warna abang-ijo, lsp. Mula urube iku matheng munggah, najan kala-kala obah kesompyak angin, merga urip
  kuwi ya munggah ta?
  Urub kuwi bisa urip, merga ana uceng-uceng. Tegese otot-otot pikencenge ragamu. 
Otot  iki sing nyambung urip.
  Ing satengahe otot kuwi, mili lenga, ya gethihmu kuwi sing mili najan encer bisa mili,
  miline jalaran saka urub.
  Dene dupa sing mlenthong iku, minangka wadhahing urip. Jrone dupa iku klebu daging balung, lan kulit.                             
                                                            (Suwardi Endraswara, 2005:45)







SUARA MERDEKA CYBERNEWS .:LAYAR - Saya Hanya Provokator Penyelamatan Wayang

SUARA MERDEKA CYBERNEWS .:LAYAR - Saya Hanya Provokator Penyelamatan Wayang

oKey