wOw

Minggu, 08 Mei 2011

PuiSi_J@wa


Pusi Jawa
            Genre puisi dalam sastra Jawa dibedakan atas puisi modern atau geguritan dan puisi tradisonal. Masing-masing terikat pada konvensinya.
Puisi tradisional terdiri atas kakawin, kidung, dan tembang. Kakawin merupakan adaptasi dari bentuk puisi India yang terikat pada pola persajakan yang ketat. Sedangkan kidung, dan tembang merupakan puisi yang menganut pola persajakan Jawa asli. Kidung cenderung menggunakan bahasa Jawa pertengahan, dan tembang menggunakan bahasa Jawa Baru.
Tembang terikat oleh guru wilangan, guru lagu, dan guru gatra. Keteriktan itu mencakup jenis tembang macapat, tengahan maupun gedhe. Ketiganya memanfaatkan simbol sandi asma ‘nama yang disandikan’ dan candrasangkala ‘petunjuk angka tahun yang disamarkan dengan kata-kata’.
a.       Kelompok tembang macapat
Dhandhanggula (sakara, hartati)
Berwatak manis, lembut, dan menyenangkan. Tembang ini cocok untuk mengekspresikan perasaan yang menyenangkan, melahirkan ajaran yang baik, serta mengungkapkan rasa cinta kasih.
Sinom
            Berwatak ceria, ramah, dan menyenangkan. Tembang ini cocok untuk mengungkapkan rasa cinta kasih dan menyampaikan amanat / ajaran.
Asmaradana
            Berwatak sedih. Tembang ini cocok untuk mengungkapkan rasa rindu asmara dan merayu.
Durma
            Berwatak keras, bergis, dan kasar. Tembang ini cocok untuk mengungkapkan kemarahan, suasana peperangan, atau nasehat yang keras.
Pangkur
            Berwatak memuncak. Tembang ini cocok untuk mengungkapkan perasaan hati yang sungguh-sungguh, nasehat yang sungguh-sungguh, atau puncak dendam rindu asmara.
Mijil
            Berwatak lancar. Tembang ini cocok untuk mengungkapkan sesuatu nasihat, perasaan sedih, dan perasaan kasih yang sendu.
Kinanthi
            Berwatak mesra. Tembang ini cocok untuk mengungkapkan nasihat ringan, perasaan hati yang riang, dan cumbu rayu.
Maskumambang
            Berwatak derita, prihatin, dan hiba. Tembang ini cocok untuk mengungkapkan perasaan hati yang sedang duka, melahirkan tangisan hati atau keprihatinan.
Pucung
            Berwatak santai. Tembang ini cocok untuk mengungkapkan kesantaian, kejenakaan, dan menyampaikan nasihat yang bersifat ringan.
Gambuh
            Berwatak akrab. Tembang ini cocok untuk menyampaikan nasihat yang sungguh-sungguh dalam lingkungan yang sudah akrab sehingga tidak ada lagi rasa ragu-ragu, serta untuk mengungkapkan perasaan apa adanya dengan nada agak santai.
Megatruh  /  Dudukwuluh
            Berwatak sedu. Tembang ini cocok untuk mengungkapkan rasa sedih / duka yang mendalam, penyesalan, dan kemeraan hati.

b.      Kelompok tembang tengahan
Jurudemung
            Bewatak ringan dan memuji. Tembang ini cocok untuk mengungkapkan wacana yang bersifat ringan, hiasan, dan pujian.
Wirangrong
            Berwatak sedih. Tembang ini cocok untuk mengungkapkan kesedihan dan keharuan.
Balabak
            Berwatak jenaka. Tembang ini cocok untuk mengungkapkan pengenduran suasana setelah bergerak memuncak.

c.       Kelompok tembang gedhe
Girisa
            Berwatak penuh harapan. Tembang ini cocok untuk mengungkapkan suatu nasehat yang diharapkan benar-benar dipatuhi.


Watak-watak tembang tersebut membawa pengaruh yang cukup besar terhadap meteri yang diungkapkan dalam membangun suatu sosok keindahan sastra. Pilihan tembang yang kurang tepat dengan watak tembang dengan materi yang diungkapkan menjadikan tidak dapat membantu terwujudnya aspek estetika dalam tembang tersebut.

Sumber saka: Mardiyanto, Heri.dkk. 1996. Sastra Jawa Modern (Periode 1920 Sampai Perang Kemerdekaan). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kaca: 119-121.