Ngalungsur Pusaka, Buat Hormati Leluhur
Penulis: Jodhi Yudono | Editor: Jodhi Yudono
Jumat, 18 Februari 2011 | 03:56 WIB
Oleh Feri Purnama
Upacara adat "Ngalungsur Pusaka" atau membersihkan benda-benda pusaka peninggalan Prabu Kiansantang atau Syech Sunan Rochmat Suci di makam keramat Godog, Kampung Godog Makam, Desa Lebak Agung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut, Jabar, Kamis, merupakan penghormatan terhadap leluhur.
"Bukan menghormati pusakanya, tapi menghormati beliau (Syech Sunan Rochmat Suci) yang telah berjasa menyebarkan ajaran agama Islam disini," kata Ketua Juru Kuncen Makam Godog, Ahmad Syarifudin.
Prabu Kiansantang merupakan seorang anak dari Raja Padjadjaran yakni Prabu Siliwangi yang menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan, dan dimakamkan di Gunung Suci, Garut.
Upacara adat "Ngalungsur Pusaka" tersebut selalu digelar di makam Godog setiap satu tahun sekali atau dalam rangkaian peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Upacara membersihkan benda pusaka tersebut, ditegaskan Ahmad bukan menyembah suatu benda yang diyakini akan memberikan sebuah keajaiban atau melebih kekuatan Tuhan Yang Maha Esa, melainkan sebagai cara melestarikan budaya seperti menjaga peninggalan benda-benda pusaka zaman dulu.
Para peziarah yang datang ke makam Godog tersebut oleh pihak kuncen selalu diingatkan bahwa melestarikan benda pusaka dan menghormati pemiliknya itu bukan menyembah pusaka.
"Jangan sampai kita melestarikan benda pusaka salah langkah atau salah aqidah, ini bukan menyembah tetapi melestarikan, beberapa kali kepada jemaah jangan sampai salah aqidah, mendewa-dewakan sesuatu atau benda, tapi kita tetap memohon dan berdoa kepada Allah SWT," kata Ahmad.
Upacara adat "Ngalungsur Pusaka" digelar dengan hati-hati dari awal dibawanya tempat benda pusaka yang disimpan di makam, hingga ke aula dan dilakukan pembersihan kemudian dikembalikan ke tempat semula oleh kuncen berseragam gamis identik warna hijau.
Prosesi upacara adat yang digelar tersebut, ditegaskan Ahmad bukan berarti mengunggulkan benda pusaka sehingga timbul keyakinan akan memberikan barokah melainkan bentuk penghormatan agar benda tersebut terjaga baik.
"Seperti kita punya benda, terus dilemparkan oleh orang lain, berarti itu tidak menghormati kepada yang punya barang," kata Ahmad mencontohkan bahwa uapcara adat benda pusaka dengan hati-hati merupakan bentuk penghormatan kepada pemiliknya.
Keberadaan benda pusaka tersebut, diceritakan Ahmad berawal ketika Syech Sunan Rochmat Suci membawa benda tersebut dengan sebuah peti kayu dari tempat keramaian kerajaan Padjadjaran.
Dengan bekal benda pusaka tersebut Syech Sunan Rochmat Suci mendapatkan ilham harus menyebarkan ajaran Islam ditempat lain hingga akhirnya mendapatkan petunjuk dengan menempatkan benda pusaka di Gunung Suci yang sekarang menjadi tempat pemakamannya.
Benda pusaka tersebut disimpan Syech Sunan Rochmat di Gunung Suci setelah beberapa tempat telah dilakukan untuk mencari petunjuk menyebarkan ajaran agama Islam.
Dalam petunjuk itu, peti yang berisikan benda pusaka tersebut bergoyang dan diyakini Gunung Suci sebagai lokasi yang harus memberikan perubahan yang lebih baik kepada masyarakat dengan menganut agama Islam.
"Pertamanya di Padjajaran beliau mendapat ilham untuk hijrah, meninggalkan tempat rame dan bertafakur disini, dan berjuang mengajarkan agama Islam," kata Ahmad.
Sedangkan nama Godog tersebut dijelaskan Ahmad berasal dari kata bahasa Sunda yang artinya matang kemudian diartikan disimpannya benda pusaka tersebut telah matang dan Syech Sunan Rochmat harus menetap di Gunung Suci dan menyebarkan ajaran Islam.
"Tafakur di tempat ini lebih matang, sehingga pendekatannya dalam mengajarkan agama Islam berhasil dengan matang," katanya.
Selama prosesi "Ngalungsur Pusaka" tersebut para juru kunci makam mendampingi kuncen yang sedang membersihkan benda pusaka dengan minyak khusus seperti minyak keletik, jeruk nipis untuk menghilangkan karat, dan minyak wangi.
Benda pusaka yang sudah berusia ratusan tahun itu yakni seperti senjata keris yang berjumlah 15 yang dahulu digunakan bukan sebagai senjata melakukan kekerasan melainkan sebagai pegangan menjaga diri saat berjuang menyebarkan ajaran Islam.
Pusaka tanduk berbentuk terompet, kata Ahmad oleh Syech Sunan Rochmat Suci digunakan untuk memberitahukan dan mengajak masyarakat berkumpul menggelar musyawarah dengan cara ditiup hingga mengeluarkan bunyi khas.
"Benda pusaka tanduk ini hanya bisa berbunyi oleh kangjeung Sunan Rochmat, kalau sekarang tidak bisa bunyi, itulah keajaiban yang tidak dapat masuk akal manusia," kata Ahmad menerangkan di hadapan peziarah yang hadir di makam Godog.
Benda peninggalan lainnya yakni pecut atau disebut Cameti, kemudian rante untuk mengukur waktu hingga mengatahui waktu menjalankan ibadah shalat.
Kemudain Babango atau gunting yang ukurannya kecil sebagai alat tajam zaman dulu untuk khitanan atau memotong kelamin laki-laki sebagai salah satu syarat mengikuti ajaran agama Islam. "Alat gunting ini untuk khitanan ukurannya kecil, tapi anjeuna (Syech Sunan Rochmat) bisa melakukannya," katanya.
Selain itu benda pusaka lainnya yakni benda miniatur alat-alat menanak nasi dan pertanian, Ahmad menilai adanya benda tersebut sebagai gambaran bahwa macam-macam bentuk alat pertanian dan menanak nasik sudah dibentuk pada zaman dulu.
"Setelah dilakukan pembersihan, kita perlihatkan kepada masyarakat, inilah benda-benda pusaka," kata Ahmad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar